Lahan basah adalah lahan yang secara alami atau
buatan selalu tergenang, baik secara terus-menerus ataupun musiman, dengan air
yang diam ataupun mengalir. Air yang menggenangi lahan basah dapat berupa air
tawar, payau dan asin. Tinggi muka air laut yang menggenangi lahan basah yang
terdapat di pinggir laut tidak lebih dari 6 meter pada kondisi surut.
Kalimantan selatan merupakan provinsi yang dijuluki
dangan kota seribu sungai, karena banyak sungai yang mengaliri
daerah-daerah di Kalimantan selatan. Sehingga kawasan lahan basah di daerah ini
cukup luas.
Sebagian besar kondisi tanah di Kalimantan Selatan adalah
lahan basah atau lahan gambut. Artinya, daerah Kalimantan selatan
merupakan kawasan rawa terbesar karena tergenang air, baik secara musiman
maupun permanen dan banyak ditumbuhi vegetasi sehingga secara umum kondisi
lahan basah memiliki tekstur, sifat fisik dan kimia yang khas.
Luas lahan basah di Kalimantan Selatan mencapai 382.272 ha.
Lahan basah di Kalimantan Selatan merupakan daerah cekungan pada dataran rendah
yang pada musim penghujan tergenang tinggi oleh air luapan dari sungai atau
kumpulan air hujan, pada musim kemarau airnya menjadi kering.
Lahan basah sangat unik dan memiliki kepentingan ekologis
yang luas, mulai tingkat lokal hingga global. Lahan basah bisa diberdayakan
secara produktif bagi ekonomi lokal, sumbangannya terhadap keakekaragaman
hayati juga sangat signifikan. Ribuan jenis tanaman unik dan unggas khas yang
bermigrasi biasanya singgah di kawasan lahan basah.
Beberapa jenis lahan basah di Kalimantan
Selatan :
1.
Sungai
Salah satu dari lahan basah yang ada di
Kalimantan Selatan adalah sungai. Kalimantan Selatan memiliki banyak sungai.
Karakteristik umum dari sungai-sungai yang ada di Kalimantan Selatan yaitu
aliran sungainya berpola radial sentrifugal pada sungai-sungai yang besar dan berpola
dendritic pada percabangan sungai ke arah anak sungai. Sungai besar itu semakin lebar dan semakin
besar volumenya menuju ke laut, karena ada tambahan air dari anak-anak
sungainya, yang membentuk sungai utama yang mengalirkan air dari daerah aliran
sungai yang luas.
Tanah Laut
|
Kotabaru
|
Tabalong
|
Tanah Bumbu
|
Banjar
|
Barito Kuala
|
Balangan
|
Banjarmasin
|
T a p i n
|
Hulu Sungai Selatan
|
Hulu Sungai Tengah
|
Hulu Sungai Utara
|
Banjarbaru
Tidak ada
|
|
Sumber : Badan
Pertanahan Nasional Provinsi Kalimantan Selatan
Dari sekian banyak sungai yang ada di
Kalimantan Selatan, terdapat tiga sungai besar yaitu Sungai Barito yang
merupakan sungai utama, Sungai Martapura dan Sungai Nagara yang merupakan
sungai besar sebagai anak sungai Barito.
1.
Sungai Barito
Sungai Barito adalah sungai yang terbesar dan terpanjang di Kalimantan
Selatan. Sungai Barito yang besar mata airnya berasal
dari pegunungan Muller dan mengalir ke selatan dan bertemu dengan Sungai Negara
yang berasal dari Pegunungan Meratus bermuara dekat Banjarmasin lebih tepatnya bermuara di Laut Jawa. Lebar
sungai pada bagian muara yang berbentuk corong mencapai 1.000 meter, sehingga
sungai Barito merupakan sungai terlebar di Indonesia.
Pola aliran
sungainya secara umum adalah radial sentrifugal, atau menjauhi titik pusat
yaitu berasal dari rangkaian pegunungan bagian tengah Kalimantan ke arah laut.
Tetapi pada percabangannya pola aliran sungainya adalah dendritik. Pola itu
terjadi karena Kalimantan memiliki topografi yang relatif datar, dikarenakan
mempunyai pesisir yang rendah dan memanjang serta dataran sungai, terutama
disebelah selatan dan barat. Sungai Barito juga termasuk jenis sungai permanen
yaitu sungai yang mana debit airnya bersifat
tetap sepanjang tahun
2.
Sungai Nagara
Sungai ini merupakan anak sungai Barito sehingga muaranya berada di
Sungai Barito. Sungai ini berujung di wilayah pegunungan Meratus di Kabupaten Tabalong. Muara Sungai Negara berada di wilayah perbatasan antara Kabupaten Tapin dan Barito Kuala, di mana terdapat Kota Marabahan. Sungai ini merupakan sungai terpanjang kedua di Kalimantan Selatan setelah Sungai Barito. Tipe dan karakteristik dari Sungai Nagara hampir mirip dengan Sungai
Barito.
Sungai Nagara memiliki banyak cabang sungai, di antaranya yang
terpenting adalah Sungai Amandit, Sungai Tapin (Sungai Margasari), Sungai
Berabai, Sungai Balangan, Sungai Batang Alai, Sungai Tabalong, dan Sungai Tabalong Kiwa
(Kiri). Sungai Amandit mempunyai dua cabang sungai, yaitu Sungai Bangkan dan
Sungai Kalumpang, sedangkan Sungai Tapin mempunyai empat cabang yaitu Sungai
Muning, Sungai Tatakan, Sungai Halat, dan Sungai Gadung.
3.
Sungai Martapura
Daerah Aliran Sungai Martapura mempunyai luas 453,88 km2 atau 45.388
hektar, dengan sungai utamanya, yang keluar dari sungai Riam Kanan melewati
kota Martapura. DAS Martapura adalah jenis DAS yang berbentuk paralel yang
tersusun dari percabangan dua sub-DAS maupun sungai yang cukup besar di bagian
hulu, tetapi menyatu di bagian hilirnya. DAS Martapura adalah sub-DAS dari DAS
Barito yang merupakan bagian dari WS (Wilayah Sungai) Barito. Daerah hulunya
adalah Waduk Riam Kanan. Sedangkan daerah muaranya yaitu terletak di kota
Banjarmasin sehingga juga termasuk dari anak sungai Barito. Sungai
Martapura memiliki tiga cabang sungai, yaitu Sungai Alalak, Sungai Riam Kiwa
(Kiri), dan Sungai Riam Kanan.
4.
Sungai Daerah Pantai
Sungai ini
terdapat di Kabupaten Tanah Laut, Kabupaten Tanah Bumbu dan Kabupaten Kotabaru.
Muara sungai di
daerah pesisir dapat berupa
sebuah delta atau sebuah
estuari. Di kawasan delta
atau estuari di
daerah tropis umumnya terdapat
hutan mangrove. Sungai ini biasanya memiliki aliran pola
Denditrik yaitu pola aliran sungai yang tidak teratur. Sungai yang memiliki
pola aliran denditrik ini biasanya terdapat di daerah daratan ataupun daerah
pantai.
2.
Rawa
Rawa adalah lahan genangan air secara ilmiah
yang terjadi terus-menerus atau musiman akibat drainase yang terhambat
serta mempunyai ciri-ciri khusus secara fisika, kimiawi dan
biologis.
lahan rawa apabila memenuhi 4 (empat) unsur utama berikut,
yaitu: (1) jenuh air sampai tergenang secara terus-menerus atau berkala yang
menyebabkan suasana anaerobic, (2) topografi landai, datar sampai cekung, (3)
sedimen mineral (akibat erosi terbawa aliran sungai) dan atau gambut (akibat
tumpukan sisa vegetasi setempat), dan (4) ditumbuhi vegetasi secara alami.
lahan rawa dibagi dalam 2 (dua) tipologi rawa, yaitu: (1)
rawa pasang surut dan (2) rawa lebak. Dalam pembagian di atas rawa pantai masuk
ke dalam bagian lahan rawa pasang surut.
Lahan rawa pasang surut digolongkan sebagai wilayah rawa
yang dipengaruhi oleh adanya luapan pasang (spring tide) dan surut (neap tide)
dari sungai atau laut baik langsung maupun tidak langsung. Berdasarkan pengaruh
luapan pasang, khususnya pada musim hujan, wilayah rawa pasang surut dibagi
dalam 4 (empat) wilayah tipe luapan, yaitu tipe luapan A, B, C, dan D. Uraian
secara rinci tentang pembagian tipe luapan ini akan dikemukakan pada Bab 4.1.
Dalam satuan kawasan rawa pasang surut terdapat sekitar 10-20% wilayah tipe
luapan A, 20-30% wilayah tipe luapan B dan D, dan 60-70% wilayah tipe luapan
C.
Lahan rawa lebak adalah rawa yang
dipengaruhi oleh adanya genangan dengan waktu lamanya genangan ≥ 3 bulan dan
tinggi genangan ≥ 50 cm. Berdasarkan lama dan tingginya genangan wilayah rawa
lebak dibagi dalam empat tipe, yaitu lebak dangkal, lebak tengahan, lebak
dalam, dan lebak sangat dalam. Uraian secara rinci tentang pembagian tipologi
rawa lebak ini akan dikemukakan pada Bab 4.1. Dalam satuan kawasan rawa lebak
terdapat wilayah lebak dangkal sekitar 40-60%, lebak tengahan 3050%, dan lebak
dalam, 10-30% dan lebak sangat dalam antara 5-10%.
Lahan
rawa yang ada di Kalimantan Selatan mempunyai potensi seluas 1.140.140 Ha yang
sangat potensial dikembangkan bagi kegiatan pertanian, perikanan, perkebunan,
dan kehutanan. Berdasarkan tipologi, di Kalimantan selatan terdapat lahan
pasang surut yang direklamasi seluas 149.254 dan lahan lebak yang direklamasi
seluas 55.764. Sehingga, di Kalimantan Selatan memiliki Lahan rawa dengan jenis
lahan pasang surut yang lebih banyak.
Lahan
rawa di Kota Banjarmasin berupa lahan pasang surut dengan tergolong tipe luapan
A, C dan D. Selanjutnya, Lahan Rawa yang ada di Kabupaten Barito kuala seluas 55.764
Ha.
Kemudian, Lahan rawa di Kabupaten Banjar berjenis pasang surut dengan
tipe luapan A, B dan C.
3.
Danau
Danau adalah sebuah
cekungan dimuka bumi dimana jumlah air yang masuk lebih besar dari air yang
keluar. Danau mendapatkan air dari curahan hujan, sungai, dan air tanah. Ketiga
sumber tersebut bersama-sama dapat mengisi dan memberikan suplai air pada
danau.
Berdasarkan proses
terjadinya danau dibedakan menjadi dua yakni danau alam dan danau buatan.
1.
Danau Alam
Danau alam terbentuk secara alami
berasal dari tenaga alam tanpa adanyacampur tangan manusia
2.
Danau Buatan
Danau buatan atau lebih dikenal dengan
waduk, dibuat untuk tujuan tertentu artinya pembuatan waduk sudah direncanakan
dan disesuaikan penggunaannya seperti irigasi, penanggulangan banjir,
pembangkit listrik, perikanan, transportasi dll. Contohnya: Waduk
Jatiluhur, Waduk Cirata dan masih banyak lagi.
Jenis-jenis danau yang ada di Kalimantan selatan yaitu
danau buatan. Hasil galian pertambangan, intan, emas dan lain-lainnya. Setelah dilakukan penambangan batubara dan penimbunan
lubang bekas tambang menggunakan material sisa penambangan (overburden)
biasanya masih dijumpai cekungan (lubang) bekas tambang, disebabkan jumlah
batubara yang diambil cukup banyak di samping volume overburden yang ketersediaannya
terbatas untuk mereklamasi lubang bekas tambang tersebut. Dengan terjadinya
cekungan-cekungan tersebut apabila hujan cukup lebat maka cekungan tersebut akan
terisi air hujan dan merubah cekungan menjadi danau atau kolam buatan.
Danau
yang ada di Kalimantan selatan
1. Danau seran adalah danau bekas pertambangan intan dan
batu atau pasir di daerah guntung manggis banjarbaru
2. Dnau cermin terletak di banjarbaru danu tersebut hasil
gallian tambang
3. Danau Galuh cempake terletak di banjarbaru adalah danau hasil penggalian tambang intan.
4. Danau tamiyang laying
5. Danau biru gambut terletak desa tambak padi
6. Danau waduk riam kanan terletak di Banjarmasin danau
buatan dibangun untuk PLTA
4
Sawah
Sawah adalah
tanah yang digarap dan diairi untuk tempat menanam padi. Untuk keperluan
ini, sawah harus mampu menyangga genangan air karena padi memerlukan penggenangan pada periode tertentu dalam
pertumbuhannya.
Sawah pasang
surut di Kalimantan Selatan mencapai
168.826 ha.
Kabupaten Banjar
sebagai salah satu lumbung padi di Kalimantan Selatan mempunyai luas lahan
pertanian dengan total 8.602.952 Ha. Terdiri dari lima tipe lahan yang
didominasi oleh lahan pasang surut dengan persentasi 44%.
Potensi
lahan Kabupaten Banjar dengan lima tipe lahan, lahan kering seluas 13.757 Ha,
pasang surut 32.252 Ha, sawah tadah hujan 13.446 Ha, irigasi 5.497 Ha dan rawa
atau lebak 8.538 Ha.
Untuk
potensi lahan pertanian bukan sawah di Kabupaten Banjar ada seluas 320.602 Ha
yang terdiri dari 7 tipe, diantaranya tegal kebun seluas 36.832 Ha, ladang
seluas 21.084 Ha, perkebunan 62.605 Ha, hutan rakyat 16.850 Ha.
Untuk
menambah lahan area tanam dan menambah hasil produksi rawa lebak dan rawa
pasang surut terkait tata kelola lahan pertanian. Ada 8 desa yang menjadi
percontohan tersebut yaitu desa Keramat Baru 114-144 Ha, desa Tungkaran 37,6
Ha, desa Pesayangan 98,5 Ha, desa Telok Selong 115 Ha, desa Telok Selong Ulu
94,8 Ha, desa Keramat 70,9 Ha, dan desa Pekauman 78,9 Ha.
5.
Gambut
Tanah gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati,
baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses
dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya
yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai. Pembentukan
tanah gambut merupakan proses geogenik, yaitu pembentukan tanah yang disebabkan
oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah
mineral yang umumnya merupakan proses pedogenik (Hardjowigeno, 1986).
Tanah gambut terbentuk secara bertahap sehingga menunjukkan
lapisan-lapisan yang jelas. Hal ini berkaitan dengan faktor alam yang ada di
sekelilingnya. Lapisanlapisan tersebut berupa perbedaan tingkat dekomposisi,
jenis tanaman yang diendapkan atau lapisan tanah mineral secara
berselang-seling. Lapisan-lapisan mineral tersebut menunjukkan gejala alam
banjir dan sedimentasi dari waktu ke waktu pada lahan rawa.
Sebaran tanah gambut dipengaruhi oleh letak dan cara pembentukannya.
Pembentukan tanah gambut dipengaruhi oleh iklim (basah), topografi
(datar-cekung), organisme (vegetasi), bahan induk (termasuk bahan mineral sebagai
substratum), dan waktu pembentukannya. Tanah gambut terbentuk pada kondisi
anaerob sehingga air mutlak harus selalu ada. Di bawah kondisi iklim tropika
basah yang panas dan lembab namun dengan evaporasi yang cukup tinggi
dimungkinkan terbentuknya tanah gambut. Pada cekungan-cekungan kecil maupun
cekungan besar, tanah gambut dapat terbentuk diawali dengan tumpukan bahan
organik sedikit demi sedikit yang akhirnya menjadi tebal, sehingga memenuhi
syarat ketebalan sebagai tanah gambut. Cekungan-cekungan tersebut terjadi di
atas formasi batuan atau lapisan sedimen yang diendapkan pada berbagai masa
geologi yang lalu. Perubahan relief di atas lapisan sedimen ini sejalan dengan
masa regresi pemunduran (retreat) laut terhadap daratan atau naiknya permukaan
daratan dan turunnya permukaan laut (Ritung et al., 2013).
Penyebaran tanah gambut di Indonesia, terutama pada dataran rendah,
mengikuti pola landform. Oleh karena itu, dalam klasifikasi landform yang
dikemukakan Marsoedi et al., (1997) terdapat Grup Gambut (peat landform), yang
terdiri atas Subgrup Gambut Topogen (topogenous peat) dan Gambut Ombrogen
(ombrogenous peat). Landform Gambut Topogen (G1) adalah landform yang terbentuk
karena bentuk topografi daerah yang cekung sehingga air yang menggenang tidak mudah
hilang dan terbentuk rawa-rawa yang relatif dangkal, sedangkan landform Gambut
Ombrogen (G2) adalah landform yang pembentukannya dipengaruhi oleh genangan air
hujan dan umumnya cukup dalam.
Dataran pasang surut (tidal flat), yaitu daerah rawa atau daerah
berlumpur yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut, merupakan landform yang
banyak ditempati oleh tanah gambut. Pada landform ini, daerah yang paling
banyak diisi oleh tanah gambut adalah rawa belakang pasang surut (tidal back
swamp). Menurut Ritung et al. (2013), penyebaran tanah gambut sering mengikuti
landform yang terbentuk di antara dua sungai besar, yaitu berupa landform
dataran pasang surut, dataran gambut, dan kubah gambut (dome).
Landform lainnya yang sering menjadi daerah penyebaran tanah gambut
adalah grup Fluvio-Marin (Fluvio-Marine landforms) atau subgrup Dataran
Estuarin Sepanjang Sungai Besar (Estuarine Flat Along Major Rivers). Landform
ini berada di sekitar muara sungai besar yang dipengaruhi oleh air sungai dan
pasang surut air laut, dan terdapat aluralur jalan air (Estuarin). Tanah gambut
yang dijumpai umumnya relatif dangkal dan tergolong topogen.
Secara garis besar, penyebaran tanah gambut di Indonesia cukup luas dan
sudah mulai dikenal sejak tahun 1865. Para peneliti dari negeri Belanda dalam
ekspedisi Ijzerman yang dipimpin oleh Koorders menyatakan bahwa di Sumatera
terdapat tanah gambut sekitar 1/5 bagian dari luas pulau ini, terutama di
pantai timur. Sementara itu, hasil eksplorasi geologi di KalimantanTengah dan
Kalimantan Timur (Molengraff) serta di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur
(Schwaner) menunjukkan adanya penyebaran tanah gambut di sepanjang daratan
pantai barat dan selatan Kalimantan (Soepraptohardjo dan Driessen, 1976).
Peta sebaran lahan gambut di Indonesia yang paling mutakhir secara
spasial digambarkan dalam bentuk Altas Peta Lahan Gambut Indonesia, Skala
1:250.000 (Ritung et al., 2011). Luas gambut di Sumatera, Kalimantan, dan Papua
adalah 14,9 juta ha. Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan yang
dikemukakan Soepraptohardjo dan Diessen (1976) yang menyatakan bahwa luas lahan
gambut di Indonesia diperkirakan sekitar 17 juta ha. Dalam Tabel 1 disajikan
luas lahan gambut di Indonesia per pulau berdasarkan Atlas Peta Lahan
Indonesia, Skala 1:250.000